Salah satu tujuan pendidikan sekolah menengah kejuruan adalah menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif, mampu bekerja mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang asa di dunia usaha dan dunia industri sebagai tenaga kerja tingkat menengah sesuai dengan kompetensi dan program keahlian yang dipilihnya. Untuk mencapai tujuan tersebut telah dilakukan berbagai cara dan langkah yang sistematik, melalui praktek kerja industri (prakerin) salah satunya.

Prakerin merupakan bentuk dari pelaksanaan pendidikan sistem ganda (PSG) atau lebih dikenal dengan link and match. Namun pada pelaksanaannya banyak menemui kendala dan permasalahan sehingga tujuan prakerin menjadi kurang efektif. Perusahaan yang telah memiliki sistem yang baku/kaku akan merasa tertganggu dengan alasan mengurangi produktifitas. Pada akhirnya perusahaan menolak menerima program yang dilakukan sekolah ini. Kalaupun mereka menerima untuk beberapa kasus, malah ditempatkan pada bagian-bagian tertentu yang kurang berhubungan dengan tuntutan kompetensi.

Untuk meminimalisir kendala tercapainya tujuan SMK dengan link and match-nya, maka pembelajaran di sekolah harus lebih dioptimalkan. Salah satu strategi yang digunakan adalah menerapkan teaching factory. Teaching factory memungkinkan siswa untuk belajar memproduksi barang yang sesuai dengan disiplin ilmunya.

Teaching Factory adalah suatu konsep pembelajaran dalam suasana sesungguhnya, sehingga dapat menjembatani kesenjangan kompetensi antara kebutuhan industri dan pengetahuan sekolah. Teknologi pembelajaran yang inovatif dan praktek produktif merupakan konsep metode pendidikan yang berorientasi pada manajemen pengelolaan siswa dalam pembelajaran agar selaras dengan kebutuhan dunia industri.

Program Teaching Factory (TEFA) merupakan perpaduan pembelajaran yang sudah ada yaitu Competency Based Training (CBT) dan Production Based Training (PBT), dalam pengertiannya bahwa suatu proses keahlian atau keterampilan (life skill) dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prosedur dan standar bekerja yang sesungguhnya untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan tuntutan pasar/ konsumen.

Pembelajaran berbasis produksi dalam paradigma lama hanya mengutamakan kualitas produk barang atau jasa tetapi hasil dari produksi tersebut tidak ada dipakai atau di pasarkan hanya semata-mata untuk menghasilkan nilai dalam proses belajar mengajar.

Dengan adanya program teaching factory merupakan langkah positip yang ditawarkan melalui kebijakan pemerintah guna mengembangkan jiwa enterpreneur, dengan harapan tamatan sekolah menengah kejuruan (SMK) mampu menjadi aset daerah dan bukan menjadi beban daerah.

Pengajar adalah mereka yang memiliki kualifikasi akademis dan juga memiliki pengalaman industri. Dengan demikian mereka mampu mentransformasikan pengetahuan dan “know how” sekaligus men”supervisi” proses untuk dapat menyajikan “finished products on time”.

Langkah awal yang perlu diperhatikan sekolah adalah menyiapkan guru yang siap membimbing siswa memiliki jiwa entrepreneur juga sebagai konsultan dan sarana prasarana yang mendekati kebutuhan minimal suatu produksi.

Ada 2 model dalam melaksanakan teaching factory yang dapat dilakukan di sekolah. Pertama, mengerjakan produk industri / order sebuah perusahaan yang telah menjalin kerjasama dengan sekolah. Yang pelaksanaannya bisa melibatkan pihak industri terkait dalam bidang pengawasan produk. Kedua, sekolah bisa membuat program unit produksi sendiri dengan produk yang terstandar. Artinya setiap membuat benda pelatihan sebagai media pembelajaran siswa diharapkan menyelesaikan tugasnya sesuai dengan standar produk yang ditetapkan. Tujuan teaching factory akhirnya adalah mengenalkan bagaimana dunia bisnis dijalankan. Yang juga mengenalkan jiwa enterpreneur sejak dini dari dalam kelas.

Program teaching factory saat ini merupakan terobosan baru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa untuk menciptakan lulusan SMK yang kompeten dan siap kerja sesuai tuntutan dunia kerja, maka pembelajaran berbasis dunia kerja adalah salah satu solusinya. Paradigma tentang pendidikan di Indonesia yang masih terpuruk juga menjadi tantangan yang besar untuk mencapai hal tersebut, dimana selama ini pendidikan di Indonesia hanya menciptakaan pencari kerja dan pengguna (user), bukan pencipta lapangan kerja dan pembuat (produsen).